Sabtu, 23 Agustus 2014

Perusahaan Sosial itu bernama: Yayasan, Sekolah/Universitas, dan Rumah Sakit

Social Corporate adalah saudara atau tetangga sebelah dari “Perusahaan” yang selama ini dikenal khalayak dan orang awam pada umumnya. Orang mengenal “Perusahaan” adalah lembaga ekonomi atau organisasi bisnis yang menyelenggarakan kegiatan ekonomi dengan memproduksi barang dan atau jasa. Dalam hal ini termasuk juga perdagangan. Perusahaan bisnis jelas mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya (sesuai mazhab kapitalis). Sedangkan perusahaan sosial (social corporation atau social entrepreneur) adalah lembaga atau organisasi sosial yang tujuannya bukan untuk mencari laba, maka sering disebut sebagai organisasi nirlaba. Namun, tetap harus dikelola dengan manajemen profesional, sehingga dapat berkembang menjalankan aktivitasnya sesuai visi dan misi, dan terhindar dari kebangrutan. Para pekerjanyapun diperlakukan sama dengan pekerja perusahaan bisnis yang sesungguhnya. Artinya memiliki hak dan kewajiban yang sama. UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 no.6 menyebutkan: “Perusahaan adalah: a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Perusahaan Yayasan Jenis perusahaan sosial yang paling mudah dikenali adalah Yayasan. Yayasan adalah organisasi yang menyelenggarakan kegiatan non bisnis, seperti pendidikan, sosial, atau dakwah. Bidang pendidikan berupa sekolah dan pendidikan luar sekolah. Pendidikan luar sekolah, bukannya pendidikan di kebon atau sekolahnya di bawah puun bambu. Pendidikan di sekolah sering disebut sebagai pendidikan formal, maka pendidikan luar sekolah adalah pendidikan non formal (seperti kursus dan bimbingan belajar) dan pendidikan informal (seperti home schooling dan les privat). Bidang sosial yang diselenggarakan yayasan adalah panti asuhan, panti jompo, rumah singgah, rumah yatim, dan lain-lain. Sementara bidang dakwah bergerak dalam penyebaran agama. Biasanya berada dan menjadi satu kepengurusan rumah ibadah. Di Kelenteng dalam Kong Hu Cu. Di Pura dalam Hindu. Di Wihara dalam Budha. Di gereja dalam agama Nasrani. Di masjid pada agama Islam, yang dikenal sebagai DKM (Dewan Kemakmuran Masjid). Meskipun ada bidang garapan dakwah yang tidak terkonsentrasi dalam rumah ibadah, melainkan dalam lembaga atau organisasi dakwah sendiri atau berada dalam organisasi massa yang lebih besar. Kini kegiatan sosial dan dakwah dalam agama Islam sangat berkembang dengan lahirnya lembaga amil zakat (LAZ) yang diselenggarakan masyarakat, sebagai pendamping badan amil zakat (BAZ) yang dibentuk, difasilitasi, dan disokong pemerintah (pusat dan daerah). Kegiatan sosial kemasyarakaan yang lainnya adalah non goverment organization (NGO) atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). Yayasan bisa mandiri dan tidak ada organisasi payungnya, tetapi juga banyak yang berlindung di bawah organisasi yang lebih besar, seperti organisasi sosial, organisasi massa, atau partai politik. Niat orang mendirikan Yayasan bisa bermacam-macam. Bisa untuk mengabdikan diri dengan kompetensi profesinya. Mewadahi para profesional dan pemerhati masalah sosial kemasyarakatan dan kebijakan publik. Sebagai sarana mengamalkan ilmu dan pengetahuannya dengan mempekerjakan orang lain tanpa mencari laba, tidak pamrih, tulus, sukarela (bukannya, suka-suka gue loe harus rela), dan ikhlas. (“ikhlas beramal”, kata moto salah satu Kementerian di negara ini). Sekedar memiliki kesibukan dan “jaim” yang bisa dijual, bahwa dirinya mempunyai kegiatan sosial, karena sudah hidup dengan “mandi uang” dan bergelimang harta. Memiliki program pemberdayaan dan kepedulian, dengan menyisihkan sebagian laba perusahaan dalam bentuk aktivitas Corporate Social Responsibilty (CSR). Sebagai usaha mencari nafkah awalnya dan berkembang menjadi lembaga bisnis yang terselubung serta akhirnya terang-terangan berbisnis dengan strategi dan taktik untuk menghindari tagihan pajak. Perusahaan Sekolah dan Perusahaan Universitas Pendidikan di negara ini sudah menjadi barang mahal. Sekolah menjadi lembaga bisnis yang bukan remang-remang, tetapi terang benderang dengan keangkuhannya. Dengan dalih guru yang profesional dan bermutu, fasilitas yang lengkap, terintegrasi dengan sekolah luar negeri, sistem yang canggih, kurikulum serba unggul, serta jaminan lulusan laku di pasar kerja atau siap cetak menjadi wirausahawan, menjadi-jadi sekolah layaknya pasar transaksi ilmu dan pengetahuan. Kiranya, azas “loe berani bayar gue kasih” bagi sang pengusaha pendidikan sudah berlaku. Sementara bagi orang tua peserta didik tidak menjadi masalah dengan ucapan pongahnya, “loe jual gue beli”. Akhirnya, bagi orang dengan penghasilan rendah, hanya mendapat peringatan: “orang miskin dilarang sekolah”. Konyolnya, bukan hanya sekolah swasta yang berbuat demikian. Sekolah negeri sudah berani lebih gila dalam jor-joran mentargetkan uang masuk dan dana operasional pendidikan. Mulai dari mengukur penghasilan orang tua peserta didik sampai menimbang kekayaannya, agar dapat dianggap mampu membayar dan berani memberi kontribusi bagi sekolah. Tawar menawar besarnya uang masuk bukan menjadi hal asing lagi bagi setiap sekolah negeri. Besarnya uang masuk bukan lagi ditentukan dari keberhasilan calon peserta didik menempati peringkat dalam tes masuk. Berbagai jenis dan tipe tes masuk disiapkan dengan tahapan gelombang dan variasi sistem pembayaran uang muka yang disesuaikan dengan “produk” yang ditawarkan. Program Studi atau Jurusan tertentu dipromosikan paling laku (dibuat adanya kuota, rasio peminat terhadap jumlah kursi yang ada) dan prospek bagi alumninya. Sebuah fenomena keberhasilan “berjualan” di sekolahan daripada di pasar. Sekolah atau Universitas melakukan “BCA” (banyak cari alasan) dengan memberi informasi berlaku sistem subsidi silang dalam menyelenggaraan pendidikan. Universitas menyerap dana dari masyarakat dengan cara demikian, dan tidak lagi dari sumber lain (misalnya, dana dari negara bukan utama untuk PTN). Sebagai perusahaan sosial, Sekolah atau Universitas seharusnya tetap pada visi dan misinya yang bersifat sosial. Dana pendidikan bukan semuanya diambil dari murid atau mahasiswa. Penyelenggara Sekolah dan Universitas harus kreatif membangun dan memanfaat unit-unit bisnis yang ikut memberi kontribusi. Unit-unit tersebut juga menjadi ruang praktikum dan ladang praktik bagi murid dan mahasiswanya. Kan, sungguh ironis kalau sekolah rakyat atau universitas anak bangsa, tetapi menyelenggarakan pendidikan dengan mengoperasionalkan organisasinya layaknya sebuah perusahaan bisnis yang memakai faham melebihi kapitalis di negara asalnya. Perusahaan Rumah Sakit Rumah sakit adalah tempat bagi orang sakit untuk dirawat dan diobati penyakitnya hingga sembuh kembali ke sediakala kesehatannya. Hal ini semua orang pasti tahu. Sebagian besar orang tidak tahu bahwa rumah sakit adalah perusahaan sosial yang seharusnya tidak dibisniskan layaknya perusahaan industri, melainkan tetap dalam kerangka awalnya sebagai perusahaan nirlaba yang mengedepankan misi sosialnya. Setiap calon pasien yang datang untuk berobat seharusnya diterima, diperlakukan, didiagnosa, dan diobati dan bila perlu harus dirawat inap. Namun, kenyataan yang terjadi tidak demikian. Seorang calon pasien yang ingin berobat lebih-lebih yang perlu rawat inap harus menyediakan uang jaminan lebih dahulu baru kemudian mendapat giliran diregistrasi sebagai pasien. Bagi orang miskin, bukan rahasia lagi jika sulit untuk mendapat tempat berobat dengan layanan yang baik dan fasilitas yang layak. Ungkapan yang sangat menyesakan dada orang miskin (yang memang dadanya sudah sesak dengan penderitaan hidup), adalah: “orang miskin tidak boleh sakit”. Kasus bayi seorang ibu yang disandera suster akibat tidak bisa melunasi biaya persalinan, calon pasien yang sudah sekarat tidak mendapat tanggapan medis akibat tidak memiliki uang jaminan, layanan yang birokratis dan lambat dalam prosedur tindakan medis karena memandang ke’mampu’an keluarga pasien, layanan yang kurang bersahabat dari paramedis terhadap keluarga pasien yang menggunakan kartu keterangan miskin atau jaminan kesehatan bagi keluarga miskin, dan banyak lagi kasus yang mengedepankan transaksi bisnis ketimbang menyelamatkan nyawa seorang manusia. Nasib dan nyawa manusia diukur dengan angka-angka rupiah. Ironisnya, ketidak berpihakan pada kemanusiaan terjadi di negara yang penduduknya beragama dan beradat istiadat kekeluargaan. Akankah, sebagian warga negara ini menjadi lebih kapitalis daripada kapitalis sejati. Atau sebaliknya, menjadi lebih komunis (atheis) daripada komunis (atheis) tulen. Insya Allah, tidak demikian.

Sabtu, 10 Agustus 2013

Labor vs Human Capital



Labor vs Human Capital
Banyak istilah yang berkaitan dengan pekerja, mulai dari buruh, pegawai dan karyawan. Buruh dikonotasikan sebagai pekerja pada pekerjaan kasar, berat, berisiko, dan berbahaya. Lapangan kerjanya, terutama di industri (pabrik). Walaupun juga dikenal ada buruh tani, buruh nelayan, buruh perkebunan, dan buruh tambang. Juga terdapat di pasar, terminal bus, dan stasiun kereta api. Adapun pegawai lebih diartikan sebagai pekerja yang berada pada instansi pemerintah (PNS, pegawai negeri sipil). Sedangkan karyawan lebih dimaknai pada pekerja yang bekerja di perkantoran (sebagai staf). Bagian yang mengurus pekerja, semula bernama Bagian Personalia, lalu berubah menjadi Bagian SDM (Sumber Daya Manusia) atau Human Resource Department (HRD), kemudian kini dikenal Human Capital Department (Bagian Modal Insani?). Pekerja tetaplah sebagai pekerja yang nasibnya ditentukan oleh kebijakan sang pemilik modal perusahaan. Pergantian istilah semestinya ikut merubah paradigma memandang pekerja sebagai “aset” bukan sekedar “komoditas” atau “komponen mesin” yang habis manis sepah dibuang. Sehingga muncul istilah “SDM” versi lain, sebagai “selamatkan diri masing-masing” karena si pekerja berada di bagian “ADM”, yang “asal dapat makan”.

Sabtu, 30 Maret 2013

Kekayaan Hakiki



Kekayaan Hakiki

Ketika berbicara tentang kekayaan yang terbersit adalah sejumlah uang yang dimiliki, aset tetap yang dinikmati dan nilai investasi yang diputar. Prinsip dan ukurannya adalah uang. Apakah pemahaman tentang kekayaan dalam hidup ini hanya seputar uang? Kalau, ya. Sungguh sangat naif. Ada 3 jenis kekayaan dalam hidup ini. Pertama, kekayaan finansial. Suatu jenis kekayaan yang ukurannya adalah jumlah nilai uang yang dimiliki. Kedua, kekayaan sosial. Seberapa besar partisipasi dan kontribusi kita bagi orang lain dan masyarakat dalam menyisikan waktu, tenaga, dan pikiran kita. Menggalang kepedulian, membangkitkan pemberdayaan, serta menuangkan buah pikiran dalam membangun kesadaran, pencerdasan, dan pencerahan adalah model pengelolaan kekayaan jenis ini. Ketiga, kekayaan spiritual. Tipe kekayaan yang tidak terukur secara kuantitatif dan bersifat non materi. Inilah kekayaan hakiki, yakni kekayaan hati dan jiwa kita. Kekayaan yang bisa diakumulasikan dengan ikhtiar kita untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah swt. Seperti, keteguhan dalam aqidah, kedisiplinan dalam ibadah, konsistensi ber- akhlaqul karimah, dan muamalah secara syariah.

Minggu, 03 Februari 2013

Karyawan vs Pegawai



Karyawan vs Pegawai

Karyawan lebih dinisbatkan pada pekerja perusahaan swasta, sedangkan pegawai sebagai pekerja pada pemerintah (PNS, pegawai negeri sipil). Pegawai di pemerintahan dapat bekerja di BUMN (badan usaha milik negara), BUMD (badan usaha milik daerah), Pemerintah pusat, Pemda (pemerintah daerah), atau di Kementeriaan (dahulu Departemen).

Penulis mencoba membandingkan orang yang asalnya bekerja di perusahaan swasta pindah ke Kementeriaan karena diterima menjadi PNS, dengan orang yang telah pensiun dari BUMN (strategis) melakukan purna bakti atau berkarya (bekerja lagi) di perusahaan swasta. Orang pertama masih muda, energik, mau belajar, gaul, berani, jujur, dan taat beragama. Dia bekerja di perusahaan swasta dengan tidak memiliki job description yang jelas, apalagi posisinya dalam struktur organisasi. Bidang pekerjaannya tidak sesuai dengan latar belakang dan spesialisasi pendidikannya, tetapi dia menikmati dan antusias mempelajari hal-ikhwal kekomputeran. Dia merasa sebagai pekerja yang malas. Akan tetapi orang lain melihat dia bekerja biasa saja. Tidak terlalu rajin juga tidak masuk kategori malas. Memang pekerjaannya kadang santai, tetapi jika ada konsultan perusahaan pekerjaannya menjadi menumpuk. Setelah ada informasi penerimaan calon PNS di sebuah Kementerian, kesempatan itu tidak disia-siakan. Lowongan itu dimanfaatkan serius dengan menyiapkan diri untuk menghadapi tes ujian masuk. Alhamdulillah, diterima di sebuah cabang dan mulailah dia bekerja. Ternyata, dia heran bekerja dalam lingkungan barunya. Dia yang hanya bekerja biasa saja, dikatakan termasuk rajin, bahkan terlalu rajin di kantor barunya. Akhirnya, dia bergumam kalau begini saja rajin bagaimana malasnya. Dia merasa, sebagai orang yang paling malas (waktu di swasta) menjadi orang paling rajin (kini di instansi pemerintah). Dia juga berpikir, kalau semua personil pegawai pemerintah bekerja dengan kinerja yang dia lihat sehari-hari demikian, mau dibawa kemana ini negara dan bagaimana mau mengurus rakyat. Namun, dia tetap tidak terpengaruh keadaan dan bahkan konsisten dalam menjalankan agama dan profesi barunya. Agama menjadi pedoman dalam bersikap ketika dia berseteru dengan pimpinannya perihal ’sesuatu’ yang menurutnya tidak layak dan tidak halal untuk dilakukan. Dia memilih dipindahtugaskan ke bagian lain ketimbang bekerja dalam suasana yang tidak nyaman dan tidak sesuai hati kecil. Perjalanan karirnya insya Allah cemerlang dengan berbagai indikator yang menjadi sekian alternatif untuk dijalani.

Pihak kedua terdiri dari orang yang telah pensiun dari sebuah BUMN masuk kerja kembali di perusahaan swasta. Mereka diminta oleh owner perusahaaan untuk membantu memperlancar persiapan produksi pabrik baru. Mereka berasal dari bidang yang berlainan dan diterima bekerja sesuai bidang kerja asalnya. Dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan karyawan sangat membatasi diri, hanya pada level manajerial tertentu dan yang langsung berkaitan dengan masalah pekerjaannya saja. Dengan ukuran usia dan pengalaman yang dimiliki menunjukan bahwa mereka adalah orang-orang yang ahli dan memilki posisi strategis di tempat lamanya. Menjaga imej masih dipegang sebagai orang yang pernah duduk di perusahaan besar dengan standar nasional. Kelihatannya sewaktu bekerja di tempat lamanya, mereka lebih banyak bergelut dalam manajemen dan berkutat dengan administrasi. Ketika di tempat barunya, kelihatan gagap untuk ’turun gunung’ lebih dulu untuk beradaptasi. Mereka heran melihat orang yang berposisi dalam manajerial turun mengatasi masalah teknis di lapangan. Lain di perusahaan pemerintah lain pula di perusahaan swasta, mungkin pikirnya. Namun, hari demi hari dapat dilalui dengan mulai berinteraksi dengan berbagai jenjang karyawan, terutama dalam hubungan nonformal (misal waktu ishoma). Melibatkan diri secara proaktif di lapangan sudah kelihatan lebih intens. Demikian pula dengan berinteraksi dengan bagian lain sudah mulai berjalan baik dan ramah.

Dari dua peristiwa di atas, tidak saja dapat dilihat dari posisi pekerja, tetapi juga dari sisi perusahaan yang menerima. Jika dilihat dari pekerja, maka orang muda di atas sedang semangatnya berjuang meniti karir dalam mencari ’makan’ (nafkah buat keluarga), sementara orang yang telah pensiun hanya menjalankan ’hobi’nya (jika profesi sudah menjadi hobi), sekedar mengisi waktu dan buat menambah kekayaan. Dalam beradaptasi dengan lingkungan baru, si orang muda lebih berpotensi dibanding dengan orang tua, sehingga lebih kecil mengalami ’cultural shock’ di tempat barunya. Orang muda lebih bisa cuek dah! menembus sekat-sekat birokratis.
Sistem rekruitmen perusahaan yang menerima pekerja menjadi faktor yang tidak dapat diabaikan dalam kasus ini. Orang pertama masuk melalui tes masal yang diadakan pemerintah dan setelah diterima langsung ditempatkan. Sedangkan pada orang-orang di pihak kedua tidak mendapatkan sistem rekruitmen yang baik. Apalagi diminta untuk membantu (walaupun tetap digaji dong! masa sih orang kerja engga digaji?). Bahwa mereka telah memilki posisi tertentu di tempat lamanya seharusnya disiapkan segala sarana, fasilitas, sumber daya pendukung, dan job description dalam struktur organisasi yang jelas. Kultur dan atmosfer yang sangat kontras dan bertolak belakang juga menjadi penghambat untuk berkarya dan bekerja sama dengan orang lain terutama dalam tim kerja.

Simpulannya, kedua kasus di atas tidak dapat menjadi refresentasi bagi berpindahnya karyawan menjadi pegawai atau pensiunan pegawai menjadi karyawan. Kedua kasus tersebut tidak dapat digeneralisasi untuk semua karyawan di swasta dan pegawai di pemerintah seperti di atas. Apalagi kalau sudah menyangkut sistem manajemen dan kepemimpinan, kultur dan atmosfer setiap perusahaan akan lebih kompleks masalahnya. Jangankan membandingkan sebuah perusahaan swasta dengan perusahaan pemerintah, sesama perusahaan swasta dengan bidang usaha yang sama atau sesama perusahaan pemerintah, tentunya akan banyak perbedaan yang dijumpai.

Setiap pribadi dapat berkembang disebabkan 2 hal baik faktor internal atau eksternal. Faktor internal diperoleh dari dalam individu itu sendiri, sementara faktor eksternal didapatkan dari lingkungan (organisasi). Mana yang lebih dominan pada setiap orang tidak sama. Ada orang yang biasa saja, tetapi setelah masuk dalam suatu organisasi menjadi pribadi luar biasa. Organisasi telah membentuknya. Sebaliknya, ada orang yang sebelum masuk organisasi sudah memiliki pribadi yang prima dan unggul. Tanpa peran organisasi, orang ini tetap dengan dirinya.
Penulis membuat guyonan buat orang lain yang masuk ruang kerja dan berbincang segala hal. Bahwa hati-hati setelah ke luar dari ruangan ini, kamu akan menjadi pintar atau mental rusak. Just kidding!

Mengenai keterkaitan antara orang dengan tempat dia bekerja, berkarya, dan berkreasi terdapat moto yang sudah diketahui khalayak umum dan sering diulang-ulang, yakni the right man on the right place. Akan tetapi dalam praktik dan kenyataannya, terjadi ada orang bagus di tempat yang bagus, ada orang bagus di tempat yang jelek, ada orang jelek di tempat yang bagus, atau ada orang jelek di tempat yang jelek.
Nah, baiknya sebelum menilai apakah faktor orang lain atau sistemnya yang jelek, kan lebih baik introspeksi ke diri kita dulu. Bahasa agamanya, muhasabah! Satu jari (telunjuk) mengarah ke depan, keempat jarinya menunjuk batang hidung sendiri.
Peran kita yang jelek, kok cermin yang dibelah!
Cermin tidak pernah bohong, kan?!

Senin, 07 Januari 2013

So(k)sial

          So(k)sial

Secara sederhana berbuat untuk orang lain atau masyarakat tanpa pamrih, tanpa motif imbal hasil, rela, tulus, dan ikhlas dikatakan sebagai tindakan atau perbuatan sosial. Perbuatan ini dilakukan dengan mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, dan atau uang untuk kepentingan sosial itu sendiri. Orang yang berjiwa sosial dengan sukarela mengorbankan semua itu tanpa ada maksud tertentu akan memilki kepuasan batin atas pemberiannya tersebut. Kepuasan yang tidak hanya secara psikologis tetapi juga secara spiritualis. Sekarang ini orang yang gemar melakukan kegiatan sosial sering disebut sebagai relawan. Sebuah penyederhanaan dari kata ”sukarelawan”, yakni orang yang berbuat dengan sukarela. Kerelaan yang disukai si pribadi tanpa terbebani. Ketulusan yang dibuat sendiri karena keinginan mengambil bagian dari sebuah peran pelaku sosial. Bukannya, suka atau tidak suka harus rela karena keterpaksaan.

Oleh karena itu seorang relawan bisa saja hanya mengorbankan salah satu atau lebih dari 4 komponen ”faktor” pengorbanan. Seseorang yang memiliki kelebihan rizki dalam keuangan, tetapi tidak memilik cukup waktu, tenaga, dan pikiran untuk membantu dapat menjadi relawan dengan menjadi donatur. Seseorang yang memiliki banyak waktu dapat saja menyumbangkan tenaganya. Demikian pula dengan sekedar menjadi relawan yang hanya memberikan pemikirannya saja. Tentunya, jika bisa memberikan lebih dari satu faktor akan lebih baik.

Sebuah aktivitas sosial dapat dilakukan secara sendiri-sendiri (perseorangan), kelompok, atau organisasi. Secara perseorangan, dalam Islam sudah dirumuskan bagaimana bentuk distribusi kekayaan (aset) yang dimiliki seseorang. Sistem distribusi yang bernuansa sosial yang tidak langsung melalui proses ekonomi (komersial), dilakukan untuk memastikan keseimbangan pendapatan di masyarakat (aspek keadilan sosial), karena tidak semua orang mampu terlibat dalam proses ekonomi, seperti yatim piatu, atau jompo, dan cacat tubuh. Syafii Antonio menyebutkan, adanya keindahan dalam bentuk instrumen sistem distribusi tersebut, dari ZIS (zakat, infak, sedekah), warisan, wasiat, sampai waqaf. Berkaitan dengan peran serta dalam kegiatan sosial, maka ZISW (zakat, infak, sedekah, dan wakaf) menjadi alokasi dalam perencanaan keuangan untuk menumbuhkan nilai kepedulian sosial tersebut.

Biasanya kelompok masyarakat melakukannya dengan spontanitas menjadi relawan, baik sekedar mengumpulkan dana sampai turut serta dalam arena kegiatan sosial itu berlangsung, seperti penanganan korban kebakaran, bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, tsunami) sampai bencana kemanusianan (konflik antar masyarakat, perang).
Organisasi yang peduli terhadap kegiatan sosial terbagi atas dua bagian, yaitu organisasi sosial sejati (seperti BAZ/LAZ, LSM, organisasi sosial lainnya) dan organisasi sosial yang merupakan bagian dari organisasi massa atau partai politik.
Organisasi sosial bergerak dengan tujuan nonprofit (nirlaba), tidak mencari keuntungan, sehingga pendanaan organisasi dan aktivitasnya tergantung dari donatur. Oleh karena itu mengharap terus ”kejatuhan rizki dari langit” donatur senantiasa menjadi penantian terus menerus. Jika demikian halnya, organisasi sosial dapat dianggap sebagai organisasinya komunitas tangan di bawah, yang selalu menengadahkan tangan, dan merasakan hidup segan mati tak mau. Masalahnya adalah, apakah setiap dan semua donatur baik perseorangan ataupun organisasi benar-benar rela mendonasikan uangnya, tanpa ada tawar menawar kepentingan, tidak ada maksud tertentu baik jangka pandek atau jangka panjang?
Sebagai alternatif, organisasi sosial harus mandiri dengan mencari sumber dana sendiri, misalnya dengan membuka unit usaha. Bila demikian, bagaimana dengan pemanfaatan profit yang diperolehnya dari unit usaha dan donasi dari donatur setianya? Disinilah dibutuhkan komitmennya sebagai pemegang amanah donatur dengan memiliki akuntabilitas keuangan yang terpercaya dari aksi nyata yang diwujudkan dalam aktivitasnya terhadap masyarakat.

Sikap sosial perseorangan tidak sepenuhnya mendukung semua yang masuk kategori kegiatan sosial. Misalnya, jika ada unsur politisnya kadang orang tidak mendukungnya seperti pada kegiatan sosial murni. Persoalan keselamatan atau kesehatan seseorang akan berbeda dengan persoalan ekonomi atau perjuangan menuntut hak (status) seseorang sekalipun untuk kebaikan bersama. Persoalan ekonomi terkait gaya hidup dan masalah penuntutan hak (status) beririsan dengan ranah politis, sehingga si pendukung akan berpikir ulang sekian kali untuk membantu atau menolongnya. Fenomena terakhir, bermunculan kelompok yang berujar ”berani bayar kami berapa” mengklaim sebagai relawan dalam dukung mendukung calon pimpinan kepala daerah. Kalau begini, relawan apanya ya?

Jadi, pilihannya akan bersikap sosial atau hendak sok sial?

Minggu, 02 Desember 2012

Pemimpin dan Pemikir



Sehebat apapun seorang pemimpin tidak akan berhasil membawa kemajuan bagi organisasinya tanpa orang-orang di sekitarnya. Sudah saatnya pemimpin yang ”otoriter” mengubah perilakunya dari seorang yang merasa ”superman” menjadi pemimpin yang memimpin dan memanajemen ”supertim” nya. Pemimpin yang memiliki tim manajemen yang baik dalam bekerja dan loyal terhadap organisasi serta berdedikasi dengan kemajuan.
Setiap orang pasti memilki kelebihan dan kekurangan. Melalui organisasi inilah kelebihan seseorang menambal kekurangan orang lain. Saling melengkapi, bersinergi, giving and sharing sumber daya, dan mengisi satu sama lain, sehingga idealnya sebuah organisasi laksana perwujudan dari sejumlah kapasitas dan kapabilitas sumberdaya manusia yang potensial. Integrasi ini tidak hanya terjadi antara sesama anggota tim manajemen, juga antara pimpinan dengan setiap dan semua anggota tim.
Dalam mengorganisasi tim, tentu saja berbeda cara bekerjanya pimpinan dengan anggota tim. Masalahnya, apakah seorang pemimpin wajib, harus, mesti, kudu menjadi pemikir juga? Atau pemimpin seharusnya tetap bertengger di atas awan saja, tidak harus turun gunung. Sebaliknya, semua persoalan dari yang berskala gajah sampai semut seorang pemimpin mesti mengetahuinya. Dari masalah yang serius dan strategis sampai persoalan yang sepele dan remeh.

Istilah ”pemikir” di sini yang penulis maksudkan adalah, seorang  visioner, penggagas, konseptor, perencana, dan bertindak seperti pemain catur yang sudah menyiapkan segala keputusan kini dengan 2, 3, dan 4 langkah ke depan. Seorang pemikir tidak hanya bergerak sigap secara spontan. Apalagi bertindak cepat secara gegabah. Juga bukan berbuat untuk kebutuhan dan kepentingan sesaat. Tidak juga sekedar untuk pemenuhan hasrat biologis pribadinya, melainkan demi membangun chemistry dengan anggota tim dan menjalin  nilai manfaat sosial. Intinya, sang pemikir memiliki program jangka panjang dan program jangka pendek bekerja dalam organisasi. Baik pemimpin maupun anggota tim harus  menjadi pemikir dengan kapasitasnya masing-masing.

Negara kita sudah memilki visi yang bagus dan jelas, yakni Pancasila. Sebuah contoh, tanpa bermaksud apa-apa, hanya berbaik sangka saja (khusnudzon) dan positive thinking tentang pemerintahan Soeharto di masa Orde Baru selama 32 tahun (1966-1998). Selain memilki banyak kekurangan dan meninggalkan ”warisan” hingga kini, terdapat beberapa kelebihan, terutama yang berikaitan dengan masalah: tim manajemen, pemikir, konsep, dan program. Kita  mengetahui orang-orang di sekitar Presiden RI kedua itu adalah orang-orang pintar. Tentunya, bukan ”orang pintar” yang dicari oleh pasien (penyakit medis, gangguan psikologis, atau kekosongan spiritual) sebagai pengobatan alternatif. Kalau yang ini mah,  lawannya ”orang pintar” yakni ”orang bodoh” dung,..eh dong! Bukan begitu?
Kembali mengenai Orde baru, kita juga mengenal: GBHN (garis-garis besar haluan negara); Bapenas (badan perencanaan pembangunan nasional); Program Pembangunan Jangka Panjang (25 tahun); Program Pembangunan Jangka Pendek, dikenal sebagi Pelita (pembangunan lima tahun) yang disusun dalam bentuk Repelita setelah Kabinet terbentuk, serta Delapan Jalur Pemerataan.
Oleh karena itu, terlepas dari kelebihan dan kekurangannya antara Soekarno dan Soeharto, keduanya sudah berjasa bagi bangsa, negara, dan tanah air ini. Jika fungsi PIMPINAN terbagi secara ekstrim dan rigid antara LEADER dan MANAGER, maka Presiden pertama kita lebih sebagai Leader sementara Presiden kedua kita, lebih sebagai Manager. Pendapat ini akan membuka perdebatan dan memancing persepsi tentunya. Yang jelas, kedua mantan pemimpin kita itu adalah pemikir pada zamannya yang pemikirannya jauh ke depan melewati masanya berkuasa. Biarlah masa lalu lewat dengan putaran waktu, yang penting sekarang menyikapi persoalan hari ini sambil menyongsong masa depan. Kata seorang teman, sejarah adalah persoalan masa lalu, sedangkan politik adalah masalah hari ini. Entahlah, apakah ekonomi dan bidang yang lain bukan persoalan hari ini? Sampai hari ini pun saya belum pernah minta penjelasan darinya.

Pemimpin selayaknya built-in sebagai pemikir. Sejatinya, pemimpin itu visioner dan konseptor. Bukan lebih banyak bertindak dalam tataran implementasi, teknis, taktis, dan aplikatif. Proporsionalitas diperlukan dan disesuaikan dengan kapasitasnya.
Sekali lagi, keberhasilan sebuah organisasi mencapai tujuan adalah hasil kerja bareng dan kompak pemimpin dan timnya.
So, jika Anda jadi Pemimpin sekarang? siap jadi Pemikir!