Sabtu, 10 Agustus 2013
Labor vs Human Capital
Labor vs Human Capital
Banyak istilah yang berkaitan dengan pekerja, mulai dari
buruh, pegawai dan karyawan. Buruh
dikonotasikan sebagai pekerja pada pekerjaan kasar, berat, berisiko, dan
berbahaya. Lapangan kerjanya, terutama di industri (pabrik). Walaupun juga
dikenal ada buruh tani, buruh nelayan, buruh perkebunan, dan buruh tambang.
Juga terdapat di pasar, terminal bus, dan stasiun kereta api. Adapun pegawai
lebih diartikan sebagai pekerja yang berada pada instansi pemerintah (PNS,
pegawai negeri sipil). Sedangkan karyawan lebih dimaknai pada pekerja yang
bekerja di perkantoran (sebagai staf). Bagian yang mengurus pekerja, semula
bernama Bagian Personalia, lalu berubah menjadi Bagian SDM (Sumber Daya
Manusia) atau Human Resource Department
(HRD), kemudian kini dikenal Human
Capital Department (Bagian Modal Insani?). Pekerja tetaplah sebagai pekerja
yang nasibnya ditentukan oleh kebijakan sang pemilik modal perusahaan.
Pergantian istilah semestinya ikut merubah paradigma memandang pekerja sebagai
“aset” bukan sekedar “komoditas” atau “komponen mesin” yang habis manis sepah
dibuang. Sehingga muncul istilah “SDM” versi lain, sebagai “selamatkan diri
masing-masing” karena si pekerja berada di bagian “ADM”, yang “asal dapat
makan”.
Sabtu, 30 Maret 2013
Kekayaan Hakiki
Kekayaan Hakiki
Ketika berbicara tentang kekayaan yang terbersit adalah sejumlah uang yang
dimiliki, aset tetap yang dinikmati dan nilai investasi yang diputar. Prinsip
dan ukurannya adalah uang. Apakah pemahaman tentang kekayaan dalam hidup ini
hanya seputar uang? Kalau, ya. Sungguh sangat naif. Ada 3 jenis kekayaan dalam
hidup ini. Pertama, kekayaan finansial. Suatu jenis kekayaan yang ukurannya
adalah jumlah nilai uang yang dimiliki. Kedua, kekayaan sosial. Seberapa besar
partisipasi dan kontribusi kita bagi orang lain dan masyarakat dalam menyisikan
waktu, tenaga, dan pikiran kita. Menggalang kepedulian, membangkitkan
pemberdayaan, serta menuangkan buah pikiran dalam membangun kesadaran,
pencerdasan, dan pencerahan adalah model pengelolaan kekayaan jenis ini. Ketiga,
kekayaan spiritual. Tipe kekayaan yang tidak terukur secara kuantitatif dan
bersifat non materi. Inilah kekayaan hakiki, yakni kekayaan hati dan jiwa kita.
Kekayaan yang bisa diakumulasikan dengan ikhtiar kita untuk meningkatkan
ketaqwaan kepada Allah swt. Seperti, keteguhan dalam aqidah, kedisiplinan dalam
ibadah, konsistensi ber- akhlaqul karimah,
dan muamalah secara syariah.
Minggu, 03 Februari 2013
Karyawan vs Pegawai
Karyawan vs Pegawai
Karyawan lebih dinisbatkan pada pekerja perusahaan
swasta, sedangkan pegawai sebagai pekerja pada pemerintah (PNS, pegawai negeri
sipil). Pegawai di pemerintahan dapat bekerja di BUMN (badan usaha milik
negara), BUMD (badan usaha milik daerah), Pemerintah pusat, Pemda (pemerintah
daerah), atau di Kementeriaan (dahulu Departemen).
Penulis mencoba membandingkan orang yang asalnya
bekerja di perusahaan swasta pindah ke Kementeriaan karena diterima menjadi
PNS, dengan orang yang telah pensiun dari BUMN (strategis) melakukan purna
bakti atau berkarya (bekerja lagi) di perusahaan swasta. Orang pertama masih
muda, energik, mau belajar, gaul, berani, jujur, dan taat beragama. Dia bekerja
di perusahaan swasta dengan tidak memiliki job
description yang jelas, apalagi posisinya dalam struktur organisasi. Bidang
pekerjaannya tidak sesuai dengan latar belakang dan spesialisasi pendidikannya,
tetapi dia menikmati dan antusias mempelajari hal-ikhwal kekomputeran. Dia
merasa sebagai pekerja yang malas. Akan tetapi orang lain melihat dia bekerja
biasa saja. Tidak terlalu rajin juga tidak masuk kategori malas. Memang
pekerjaannya kadang santai, tetapi jika ada konsultan perusahaan pekerjaannya
menjadi menumpuk. Setelah ada informasi penerimaan calon PNS di sebuah
Kementerian, kesempatan itu tidak disia-siakan. Lowongan itu dimanfaatkan
serius dengan menyiapkan diri untuk menghadapi tes ujian masuk. Alhamdulillah,
diterima di sebuah cabang dan mulailah dia bekerja. Ternyata, dia heran bekerja
dalam lingkungan barunya. Dia yang hanya bekerja biasa saja, dikatakan termasuk
rajin, bahkan terlalu rajin di kantor barunya. Akhirnya, dia bergumam kalau
begini saja rajin bagaimana malasnya. Dia merasa, sebagai orang yang paling
malas (waktu di swasta) menjadi orang paling rajin (kini di instansi
pemerintah). Dia juga berpikir, kalau semua personil pegawai pemerintah bekerja
dengan kinerja yang dia lihat sehari-hari demikian, mau dibawa kemana ini
negara dan bagaimana mau mengurus rakyat. Namun, dia tetap tidak terpengaruh
keadaan dan bahkan konsisten dalam menjalankan agama dan profesi barunya. Agama
menjadi pedoman dalam bersikap ketika dia berseteru dengan pimpinannya perihal ’sesuatu’
yang menurutnya tidak layak dan tidak halal untuk dilakukan. Dia memilih
dipindahtugaskan ke bagian lain ketimbang bekerja dalam suasana yang tidak
nyaman dan tidak sesuai hati kecil. Perjalanan karirnya insya Allah cemerlang
dengan berbagai indikator yang menjadi sekian alternatif untuk dijalani.
Pihak kedua terdiri dari orang yang telah pensiun
dari sebuah BUMN masuk kerja kembali di perusahaan swasta. Mereka diminta oleh owner perusahaaan untuk membantu
memperlancar persiapan produksi pabrik baru. Mereka berasal dari bidang yang
berlainan dan diterima bekerja sesuai bidang kerja asalnya. Dalam berinteraksi
dan berkomunikasi dengan karyawan sangat membatasi diri, hanya pada level manajerial
tertentu dan yang langsung berkaitan dengan masalah pekerjaannya saja. Dengan
ukuran usia dan pengalaman yang dimiliki menunjukan bahwa mereka adalah
orang-orang yang ahli dan memilki posisi strategis di tempat lamanya. Menjaga
imej masih dipegang sebagai orang yang pernah duduk di perusahaan besar dengan
standar nasional. Kelihatannya sewaktu bekerja di tempat lamanya, mereka lebih
banyak bergelut dalam manajemen dan berkutat dengan administrasi. Ketika di
tempat barunya, kelihatan gagap untuk ’turun gunung’ lebih dulu untuk
beradaptasi. Mereka heran melihat orang yang berposisi dalam manajerial turun
mengatasi masalah teknis di lapangan. Lain di perusahaan pemerintah lain pula
di perusahaan swasta, mungkin pikirnya. Namun, hari demi hari dapat dilalui
dengan mulai berinteraksi dengan berbagai jenjang karyawan, terutama dalam
hubungan nonformal (misal waktu ishoma). Melibatkan diri secara proaktif di
lapangan sudah kelihatan lebih intens. Demikian pula dengan berinteraksi dengan
bagian lain sudah mulai berjalan baik dan ramah.
Dari dua peristiwa di atas, tidak saja dapat
dilihat dari posisi pekerja, tetapi juga dari sisi perusahaan yang menerima.
Jika dilihat dari pekerja, maka orang muda di atas sedang semangatnya berjuang meniti
karir dalam mencari ’makan’ (nafkah buat keluarga), sementara orang yang telah
pensiun hanya menjalankan ’hobi’nya (jika profesi sudah menjadi hobi), sekedar
mengisi waktu dan buat menambah kekayaan. Dalam beradaptasi dengan lingkungan
baru, si orang muda lebih berpotensi dibanding dengan orang tua, sehingga lebih
kecil mengalami ’cultural shock’ di
tempat barunya. Orang muda lebih bisa cuek dah! menembus sekat-sekat
birokratis.
Sistem rekruitmen perusahaan yang menerima pekerja
menjadi faktor yang tidak dapat diabaikan dalam kasus ini. Orang pertama masuk
melalui tes masal yang diadakan pemerintah dan setelah diterima langsung
ditempatkan. Sedangkan pada orang-orang di pihak kedua tidak mendapatkan sistem
rekruitmen yang baik. Apalagi diminta untuk membantu (walaupun tetap digaji
dong! masa sih orang kerja engga digaji?). Bahwa mereka telah memilki posisi
tertentu di tempat lamanya seharusnya disiapkan segala sarana, fasilitas,
sumber daya pendukung, dan job
description dalam struktur organisasi yang jelas. Kultur dan atmosfer yang
sangat kontras dan bertolak belakang juga menjadi penghambat untuk berkarya dan
bekerja sama dengan orang lain terutama dalam tim kerja.
Simpulannya, kedua kasus di atas tidak dapat
menjadi refresentasi bagi berpindahnya karyawan menjadi pegawai atau pensiunan
pegawai menjadi karyawan. Kedua kasus tersebut tidak dapat digeneralisasi untuk
semua karyawan di swasta dan pegawai di pemerintah seperti di atas. Apalagi
kalau sudah menyangkut sistem manajemen dan kepemimpinan, kultur dan atmosfer
setiap perusahaan akan lebih kompleks masalahnya. Jangankan membandingkan
sebuah perusahaan swasta dengan perusahaan pemerintah, sesama perusahaan swasta
dengan bidang usaha yang sama atau sesama perusahaan pemerintah, tentunya akan
banyak perbedaan yang dijumpai.
Setiap pribadi dapat berkembang disebabkan 2 hal
baik faktor internal atau eksternal. Faktor internal diperoleh dari dalam
individu itu sendiri, sementara faktor eksternal didapatkan dari lingkungan
(organisasi). Mana yang lebih dominan pada setiap orang tidak sama. Ada orang
yang biasa saja, tetapi setelah masuk dalam suatu organisasi menjadi pribadi
luar biasa. Organisasi telah membentuknya. Sebaliknya, ada orang yang sebelum
masuk organisasi sudah memiliki pribadi yang prima dan unggul. Tanpa peran organisasi,
orang ini tetap dengan dirinya.
Penulis membuat guyonan buat orang lain yang masuk
ruang kerja dan berbincang segala hal. Bahwa hati-hati setelah ke luar dari
ruangan ini, kamu akan menjadi pintar atau mental rusak. Just kidding!
Mengenai keterkaitan antara orang dengan tempat
dia bekerja, berkarya, dan berkreasi terdapat moto yang sudah diketahui
khalayak umum dan sering diulang-ulang, yakni the right man on the right place. Akan tetapi dalam praktik dan
kenyataannya, terjadi ada orang bagus di tempat yang bagus, ada orang bagus di
tempat yang jelek, ada orang jelek di tempat yang bagus, atau ada orang jelek
di tempat yang jelek.
Nah, baiknya sebelum menilai apakah faktor orang
lain atau sistemnya yang jelek, kan lebih baik introspeksi ke diri kita dulu.
Bahasa agamanya, muhasabah! Satu jari (telunjuk) mengarah ke depan, keempat
jarinya menunjuk batang hidung sendiri.
Peran kita yang jelek, kok cermin yang dibelah!
Cermin tidak pernah bohong, kan?!
Senin, 07 Januari 2013
So(k)sial
So(k)sial
Secara
sederhana berbuat untuk orang lain atau masyarakat tanpa pamrih,
tanpa motif imbal hasil, rela, tulus, dan ikhlas dikatakan sebagai
tindakan atau perbuatan sosial. Perbuatan ini dilakukan dengan
mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, dan atau uang untuk kepentingan
sosial itu sendiri. Orang yang berjiwa sosial dengan sukarela
mengorbankan semua itu tanpa ada maksud tertentu akan memilki
kepuasan batin atas pemberiannya tersebut. Kepuasan yang tidak hanya
secara psikologis tetapi juga secara spiritualis. Sekarang ini orang
yang gemar melakukan kegiatan sosial sering disebut sebagai relawan.
Sebuah penyederhanaan dari kata ”sukarelawan”, yakni orang yang
berbuat dengan sukarela. Kerelaan yang disukai si pribadi tanpa
terbebani. Ketulusan yang dibuat sendiri karena keinginan mengambil
bagian dari sebuah peran pelaku sosial. Bukannya, suka atau tidak
suka harus rela karena keterpaksaan.
Oleh
karena itu seorang relawan bisa saja hanya mengorbankan salah satu
atau lebih dari 4 komponen ”faktor” pengorbanan.
Seseorang yang memiliki kelebihan rizki dalam keuangan, tetapi tidak
memilik cukup waktu, tenaga, dan pikiran untuk membantu dapat menjadi
relawan dengan menjadi donatur. Seseorang yang memiliki banyak waktu
dapat saja menyumbangkan tenaganya. Demikian pula dengan sekedar
menjadi relawan yang hanya memberikan pemikirannya saja. Tentunya,
jika bisa memberikan lebih dari satu faktor akan lebih baik.
Sebuah
aktivitas sosial dapat dilakukan secara sendiri-sendiri
(perseorangan), kelompok, atau organisasi. Secara perseorangan, dalam
Islam sudah dirumuskan bagaimana bentuk distribusi kekayaan (aset)
yang dimiliki seseorang. Sistem distribusi yang bernuansa sosial yang
tidak langsung melalui proses ekonomi (komersial), dilakukan untuk
memastikan keseimbangan pendapatan di masyarakat (aspek keadilan
sosial), karena tidak semua orang mampu terlibat dalam proses
ekonomi, seperti yatim piatu, atau jompo, dan cacat tubuh. Syafii
Antonio menyebutkan, adanya keindahan dalam bentuk instrumen sistem
distribusi tersebut, dari ZIS (zakat, infak, sedekah), warisan,
wasiat, sampai waqaf. Berkaitan dengan peran serta dalam kegiatan
sosial, maka ZISW (zakat, infak, sedekah, dan wakaf) menjadi alokasi
dalam perencanaan keuangan untuk menumbuhkan nilai kepedulian sosial
tersebut.
Biasanya
kelompok masyarakat melakukannya dengan
spontanitas menjadi relawan, baik sekedar mengumpulkan dana sampai
turut serta dalam arena kegiatan sosial itu berlangsung, seperti
penanganan korban kebakaran, bencana alam (banjir, tanah longsor,
gempa bumi, gunung meletus, tsunami) sampai bencana kemanusianan
(konflik antar masyarakat, perang).
Organisasi
yang peduli terhadap kegiatan sosial terbagi atas dua bagian, yaitu
organisasi sosial sejati (seperti BAZ/LAZ, LSM, organisasi sosial
lainnya) dan organisasi sosial yang merupakan bagian dari organisasi
massa atau partai politik.
Organisasi
sosial bergerak dengan tujuan nonprofit (nirlaba), tidak mencari
keuntungan, sehingga pendanaan organisasi dan aktivitasnya tergantung
dari donatur. Oleh karena itu mengharap terus ”kejatuhan rizki dari
langit” donatur senantiasa menjadi penantian terus menerus. Jika
demikian halnya, organisasi sosial dapat dianggap sebagai
organisasinya komunitas tangan di bawah, yang selalu menengadahkan
tangan, dan merasakan hidup segan mati tak mau. Masalahnya adalah,
apakah setiap dan semua donatur baik perseorangan ataupun organisasi
benar-benar rela mendonasikan uangnya, tanpa ada tawar menawar
kepentingan, tidak ada maksud tertentu baik jangka pandek atau jangka
panjang?
Sebagai
alternatif, organisasi sosial harus mandiri dengan mencari sumber
dana sendiri, misalnya dengan membuka unit usaha. Bila demikian,
bagaimana dengan pemanfaatan profit yang diperolehnya dari unit usaha
dan donasi dari donatur setianya? Disinilah dibutuhkan komitmennya
sebagai pemegang amanah donatur dengan memiliki akuntabilitas
keuangan yang terpercaya dari aksi nyata yang diwujudkan dalam
aktivitasnya terhadap masyarakat.
Sikap
sosial perseorangan tidak sepenuhnya
mendukung semua yang masuk kategori kegiatan sosial. Misalnya, jika
ada unsur politisnya kadang orang tidak mendukungnya seperti pada
kegiatan sosial murni. Persoalan keselamatan atau kesehatan seseorang
akan berbeda dengan persoalan ekonomi atau perjuangan menuntut hak
(status) seseorang sekalipun untuk kebaikan bersama. Persoalan
ekonomi terkait gaya hidup dan masalah penuntutan hak (status)
beririsan dengan ranah politis, sehingga si pendukung akan berpikir
ulang sekian kali untuk membantu atau menolongnya. Fenomena terakhir,
bermunculan kelompok yang berujar ”berani bayar kami berapa”
mengklaim sebagai relawan dalam dukung mendukung calon pimpinan
kepala daerah. Kalau begini, relawan apanya ya?
Jadi,
pilihannya akan bersikap sosial atau hendak sok sial?
Minggu, 02 Desember 2012
Pemimpin dan Pemikir
Sehebat apapun seorang pemimpin tidak akan
berhasil membawa kemajuan bagi organisasinya tanpa orang-orang di sekitarnya.
Sudah saatnya pemimpin yang ”otoriter” mengubah perilakunya dari seorang yang
merasa ”superman” menjadi pemimpin yang memimpin dan memanajemen ”supertim”
nya. Pemimpin yang memiliki tim manajemen yang baik dalam bekerja dan loyal
terhadap organisasi serta berdedikasi dengan kemajuan.
Setiap orang pasti memilki kelebihan dan
kekurangan. Melalui organisasi inilah kelebihan seseorang menambal kekurangan
orang lain. Saling melengkapi, bersinergi, giving
and sharing sumber daya, dan mengisi satu sama lain, sehingga idealnya
sebuah organisasi laksana perwujudan dari sejumlah kapasitas dan kapabilitas
sumberdaya manusia yang potensial. Integrasi ini tidak hanya terjadi antara
sesama anggota tim manajemen, juga antara pimpinan dengan setiap dan semua anggota
tim.
Dalam mengorganisasi tim, tentu saja
berbeda cara bekerjanya pimpinan dengan anggota tim. Masalahnya, apakah seorang
pemimpin wajib, harus, mesti, kudu menjadi pemikir juga? Atau pemimpin
seharusnya tetap bertengger di atas awan saja, tidak harus turun gunung.
Sebaliknya, semua persoalan dari yang berskala gajah sampai semut seorang pemimpin
mesti mengetahuinya. Dari masalah yang serius dan strategis sampai persoalan
yang sepele dan remeh.
Istilah ”pemikir” di sini yang penulis
maksudkan adalah, seorang visioner,
penggagas, konseptor, perencana, dan bertindak seperti pemain catur yang sudah
menyiapkan segala keputusan kini dengan 2, 3, dan 4 langkah ke depan. Seorang
pemikir tidak hanya bergerak sigap secara spontan. Apalagi bertindak cepat
secara gegabah. Juga bukan berbuat untuk kebutuhan dan kepentingan sesaat.
Tidak juga sekedar untuk pemenuhan hasrat biologis pribadinya, melainkan demi
membangun chemistry dengan anggota
tim dan menjalin nilai manfaat sosial.
Intinya, sang pemikir memiliki program jangka panjang dan program jangka pendek
bekerja dalam organisasi. Baik pemimpin maupun anggota tim harus menjadi pemikir dengan kapasitasnya
masing-masing.
Negara kita sudah memilki visi yang bagus
dan jelas, yakni Pancasila. Sebuah contoh, tanpa bermaksud apa-apa, hanya
berbaik sangka saja (khusnudzon) dan positive thinking tentang pemerintahan
Soeharto di masa Orde Baru selama 32 tahun (1966-1998). Selain memilki banyak
kekurangan dan meninggalkan ”warisan” hingga kini, terdapat beberapa kelebihan,
terutama yang berikaitan dengan masalah: tim manajemen, pemikir, konsep, dan
program. Kita mengetahui orang-orang di
sekitar Presiden RI kedua itu adalah orang-orang pintar. Tentunya, bukan ”orang
pintar” yang dicari oleh pasien (penyakit medis, gangguan psikologis, atau kekosongan
spiritual) sebagai pengobatan alternatif. Kalau yang ini mah, lawannya ”orang pintar” yakni ”orang bodoh” dung,..eh
dong! Bukan begitu?
Kembali mengenai Orde baru, kita juga
mengenal: GBHN (garis-garis besar haluan negara); Bapenas (badan perencanaan
pembangunan nasional); Program Pembangunan Jangka Panjang (25 tahun); Program
Pembangunan Jangka Pendek, dikenal sebagi Pelita (pembangunan lima tahun) yang
disusun dalam bentuk Repelita setelah Kabinet terbentuk, serta Delapan Jalur
Pemerataan.
Oleh karena itu, terlepas dari kelebihan
dan kekurangannya antara Soekarno dan Soeharto, keduanya sudah berjasa bagi
bangsa, negara, dan tanah air ini. Jika fungsi PIMPINAN terbagi secara ekstrim dan
rigid antara LEADER dan MANAGER, maka Presiden pertama kita lebih sebagai
Leader sementara Presiden kedua kita, lebih sebagai Manager. Pendapat ini akan
membuka perdebatan dan memancing persepsi tentunya. Yang jelas, kedua mantan
pemimpin kita itu adalah pemikir pada zamannya yang pemikirannya jauh ke depan
melewati masanya berkuasa. Biarlah masa lalu lewat dengan putaran waktu, yang
penting sekarang menyikapi persoalan hari ini sambil menyongsong masa depan.
Kata seorang teman, sejarah adalah persoalan masa lalu, sedangkan politik
adalah masalah hari ini. Entahlah, apakah ekonomi dan bidang yang lain bukan
persoalan hari ini? Sampai hari ini pun saya belum pernah minta penjelasan
darinya.
Pemimpin selayaknya built-in sebagai pemikir. Sejatinya, pemimpin itu visioner dan
konseptor. Bukan lebih banyak bertindak dalam tataran implementasi, teknis,
taktis, dan aplikatif. Proporsionalitas diperlukan dan disesuaikan dengan
kapasitasnya.
Sekali lagi, keberhasilan sebuah
organisasi mencapai tujuan adalah hasil kerja bareng dan kompak pemimpin dan
timnya.
So, jika Anda jadi Pemimpin sekarang? siap
jadi Pemikir!
Langganan:
Postingan (Atom)